Wednesday, June 11, 2014

3078 MDPL, Puncak Gunung Ciremai.





SENJA DI PUNCAK CIREMAI

Kamis, 9 Juni 2011
            Hari ini Wahyu dan Jerry tim pendahulu pendakian puncak Ciremai berangkat dengan kereta progo ke Cirebon. Saya dan Hanif bertugas mengantar mereka ke stasiun Lempuyangan, Yogyakarta pada jam tiga pagi ini. Kereta akan berangkat pada pukul 16.00 WIB sesuai jadwal. Urusan kereta terlambat atau tidak itu mungkin terjadi. Saya tahu bahwa kereta tidak pernah diberangkatkan lebih cepat. Tapi kami mengantar kedua tim pendahulu ini lebih cepat. Saya dan Hanif tidak bisa mengantar keberangkatan kedua tim pendahulu ini sampai kereta berangkat. Karena di sekretariat Palapsi akan diadakan upacara pelepasan atlet Follow Up Diklat (FUD)  Java Advanture 2011 ke Jawa Barat secara menyeluruh.Mereka berdua juga tidak bisa ikut upacara pelepasan karena harus berangkat duluan.
            Di Sekretariat Palapsi telah ramai berkumpul para atlet FUD, para atlet FUD yang tidak ikut During terakhir, Palapsier, senior dan siapa saja warga kampus Psikologi UGM yang ikut upacara keberangkatan. Sebagian besar memakai T-shirt biru khusus FUD Java Advanture 2011 atau T-shirt biru Palapsi bertuliskan Never Give Up di belakangnya. Lewat pukul 16.30 WIB acara dimulai dan diadakan di Lapangan Voli Psikologi UGM. Acara diisi singkat dengan pidato singkat dari senior, ketua 25, calon ketua 26. Kemudian memasuki acara inti menyanyikan himne Palapsi. Dengan  nyanyian dan ciuman ke bendera Palapsi resmilah kami untuk berangkat.

Jumat, 10 Juni 2011
            Hari ini atlet FUD divisi gunung dan tebing  akan berangkat ke Jawa Barat bersamaan dengan kereta Progo jam 16.00 WIB dari stasiun Lempuyangan. Dengan diantar oelh banyak Palapsier.  Di divisi gunung sendiri ada saya, Hanif, Wikan, Tifani/Moni  dan dari divisi Tebing ada Fasluki, Ratu Salika  Awang , Diah/Neeson , Bagas dan Ginanjar yang ikut  bareng berangkat mudik ke Bandung yang naik kereta hari ini. Sebenarnya ada satu lagi atlet divisi Gunung yang harusnya berangkat, Diyan. Namun karena tidak mendapat izin orang tua di hari-hari terakhir sebelum keberangkatan sahabat kita satu ini tidak bisa ikut.
            Sepanjang perjalanan kami isi dengan obrolan gosip-gosip asmara di Palapsi tahun ini atau obrolan lain. Saat habis obrolan kami ganti dengan main kartu. Saat ada pengamen dan pengamen Waria kami pura-pura tidur atau benar-benar tidur dan saat lapar dan haus kami makan dan minum. Pokoknya sebisa mungkin kami mengisi kebosanan sampai kereta berhenti di Stasiun Kota Baru Cirebon pada pukul sebelas malam lewat. Dari sini kami berpisah dengan Divisi Tebing dan Ginanjar untuk melanjutkan misi kami.
            Jika berpanutan dengan rencana Briefing keberangkatan kami akan dijemput oleh tim pendahulu yang akan menyiapkan keperluan selama di Cirebon dan Base Camp pendakian. Keluar dari stasiun kami memang dijemput oleh mereka dan diajak langsung ke tempat beristirahat malam ini, Masjid Agung stasiun Kota Baru, Cirebon.

Sabtu, 11 Juli 2011
            Selepas shalat Shubuh kami berangkat ke desa Lingasana di kecamatan Linggarjati, Kuningan. Sebelumnya kami sedikit berdebat dengan sopir angkot yang mematok harga dengan sangat mahal untuk jasanya mengantar kami ke sana. Padahal kalau naik angkutan umum lain dengan sistem ganti-ganti angkutan untuk setiap jalur mungkin harganya bisa lebih masuk akal. Tanpa kehilangan akan kami manfaatkan saja dengan mengantar kami ke pasar tradisional di Linggarjati dulu dan menunggu kami selama satu jam untuk belanja kebutuhan konsumsi untuk pendakian. Sebelum akhirnya berangkat lagi ke tujuan.
            Sesampainya di basecamp pendakian gunung Ciremai desa Lingasana kami bayar sopir angkot tersebut dengan berat hati. Jerry dan wahyu yang sehari sebelumnya telah kesini telah melakukan pendekatan dengan empunya rumah. Kami dizinkan menginap di rumah beliau sebelum dan sesudah pendakian. Basecamp pendakian Lingasana ini bergabung fungsi dengan pos ronda dan rumah pak Tatang (Basecamper) disebelahnya.
            Hari masih jam sebelas siang lebih dan pendakian kami akan dimulai jam delapan pagi besok. Sisa hari kami gunakan untuk packing ulang logistik pendakian, istirahat atau sekedar ngbrol dengan keluarga pak Tatang. Hal menarik yang saya ketahui tentang pak Tatang adalah bahwa ia lahir di Palembang dan dibesarkan disana sampai ia merantau dan dapat jodoh orang sini. Saya sendiri sebagai perantau dari Sumatera selatan senang rasanya bertemu dengan orang satu daerah. Sehingga membuat membuat hubungan kami lebih hangat dan terbuka.
            Dari hasil obrol-obrol dengan pak Tatang desa Lingasa ini mendapat juara 2 untuk desa terbersih di Jawa Barat, teraman nomor 3 versi POLDA Jawa Barat, desa yang patut jadi panutan. Kata beliau juga jalur pendakian dari Lingasana ini lebih panjang dibanding dengan dua jalur pendakian resmi lainnya di Taman Nasional Gunung Ciremai. Desa Lingasana sendiri terletak pada ketinggian 600 meter diatas permukaan laut (mdpl). Jalurnya pun katanya lebih terjal dengan tempat angker lebih banyak menurut mitos masyarakat sekitar.  Ini juga mungkin yang dijadikan alasan Jerry, selaku Kepala Divisi gunung 25 memilih jalur tersulit untuk during terakhir pendakian gunung dalam rangkaian FUD Java Advanture. Untuk menguji dan membuktikan hasil latihan dan pesiapan kami selama 2,5 bulan kebelakang.
Minggu, 12 Juni 2011
            Hari ini sehabis shubuh kami mandi dengan air siraman air es teh dan sarapan nasi goreng buatan Basecamper yang baru-baru aku ketahui ternyata juga buka warung makan dadakan. Lumayan menghemat waktu dan logistik walau sedikit menguras duit. Setelah persiapan beres baik urusan kbersihan, sarapan, logistik di Carrier kami lakukan pemanasan ringan sebelum memulai pendakian. Pagi menunjukkan pukul 8.00 WIB  saat kami mulai berjalan meninggalkan Basecamp. Gunung Ciremai dari kejauhan menampakkan kegagahannya seobagai daratan yang lebih tinggi mencuat yang hijau lebat dengan hutan Tropisnya dilatarbelakangi langit biru cerah. Semoga selama pendakian langit tidak mencurahkan hujan. 
            Di pagi minggu ini ternyata desa Linggasana ini ramai dikunjungi oleh para warga kota Kuningan yang berjogging ria ke lereng gunung Ciremai. Mungkin semacam komunitas kecil yang suka jogging pagi di hari minggu. Rata-rata orang tua paruh baya yang kebanyakan beretnis Tionghoa. Ada sepasang suami istri  yang menyapa kami dan menanyakan berapa kilo beban yang kami bawa. Ketika saya jawab 20 kilogram lebih sedikit mereka terkejut dan kasih salut buat Wikan dan Tifani yang walau cewek berani-bernainya mendaki gunung denagn beban seberat itu. Dalam hati saya berpikir apakah orang-orang ini mengaggap biasa saja kalau laki-laki yang membawa beban seberat itu.
            Kami mulai berpisah dengan komunitas jogging pagi saat berbelok memasuki hutan yang lebih lebat dan alami. Sedangkan mereka melanjutkan ke belokan yang mengarah ke hutan Pinus yang sangat benuansa tempat wisata publik. Sebagai leader pendakian ditunjuk Wahyu yang akan berjalan paling depan, disusul saya, Wikan, Tifani, Jerry dan Hanif sebagai Swiffer yang berjalan paling belakang. Saat masih setengah perjalanan menuju Pos Kondang Amis kami bertemu dengan pendaki lokal yang sedang beristirahat di saung kecil yang ada air pancurannya.
Sedikit ngobrol dan dapat informasi kalau sumber mata air di gunung sedang kering semua. Mungkin ada satu di dekat Kondang Amis yang masih berair. Kondang Amis Sendiri masih sangat jauh dari puncak. Jadi tidak akan terlalu membantu dalam pemenuhan kebutuhan air. Kalau dipikir ulang lagi sepertinya air yang kami bawa termasuk sedikit untuk pendakian yang akan kami jalani selama tiga hari. Masing-masing membawa 5 liter air di Carriernya. Beliau juga cerita bahwa ia baru saja turun dari gunung Ciremai setelah 6 hari lebih tinggal disana. Bukan untuk melakukan pendakian seperti pendaki kebanyakan atau sebagai Jagawana yang sedang patroli. Mungkin buat Paniatan (Sunda) atau Pesugihan (Jawa) buat cari ilmu dan kekayaan.
Kami melanjutkan perjalanan lagi dengan jarak antara saya dan Wahyu yang cukup berjauhan dengan empat teman di belakang. Mungkin karena baru hari pertama dna peurt masih kenyang jadi kami berjalan terlampau cepat. Saya perhatikan di kanan kiri jalur pendakian ini hutan gunung Ciremai sangat lebat. Lebatnya sampai membuat sinar matahari terhalangi sampai serasa senja menjelang malam. Banyak juga tanaman merambat seperti tanaman Rotan yang besarnya sampai sepaha dan merambat panjang tak terlihat lagi ke pedalaman hutan. Berbeda sekali rasanya dengan hutan-hutan pegununugan yang pernah saya lihat di Gununug Lawu, Sumbing, Sindoro, atau Semeru.
Kebanyakan hutan-hutan di gunung yang saya sebut tadi hutannya mulai homogen dan sedikit variasi jenis pepohonan. Ada juga yang kebanyakan ladang perkebunan warga, kemudian hutan homogen yang sepertinya hasil reboisasi dan padang belukar. Ini mungkin karena faktor ketinggian tempat varietas tanaman di hutan tadi tumbuh. Dari empat gunung yang saya sebutkan diatas kesemuanya memulai jalur pendakian dari ketinggian 1000 mdpl. Menurut buku biologi yaang saya pernah baca, pada ketinggian diatas tersebut varietas tanaman yang tumbuh mulai menyusut. Hal ini dipengaruhi oleh temperatur yang berubah pada setiap ketinggian. Jika dibandingkan dengan hutan gunung Ciremai teori ini memang berlaku. Karena pendakian dimulai dari ketinggian 600 mdpl yang hutannya sangat lebat dan bervarietas heterogen. Dan semakin ketinggiannya naik varietas yang adaa juga semkin menyusut.
Kembali lagi pada cerita pendakian, dua jam setelah pendakian akhirnya kami sampai di pos Kondang Amis. Beristirahat sejenak disini dan kembali melanjutkan perjalanan. Mulai dari sini mulai ada perubahan darstis pada jalur trekking pendakian. Yang mulanya dari basecamp sampai Kondang Amis kemiringan jalur pendakian masih bisa ditolerir. Karena masih kurang dari 45*. Mulai dari sini nama-nama pos pendakian mulai menunjukkan identitas sesuangguhnya. Ada Tanjakan Kuda Mati yang miringnya membuat serasa badan merayap di tanah. Konon katanya, di Tanjakan Kuda ini Kuda sunan Gunung Jati dan Kuda pendaki Belanda mati saat mencoba mendaki. Saya jadi mafhum dengan penamaan tersebut karena saking miringnya tanjakan ini wajar saja kuda tidak bisa mendaki dan tergelincir dan akhirnya membawanya pada kematian.
 Di Pangalap dan Tanjakan Seruni sendiri jalurnya adalah akar-akar pepopohan layaknya Wall  panjat tebing. Mulai dari Pengalap kami mulai mencari tempat untuk camping karena waktu sudah menunjukkan pukul 16.00 WIB. Sulit untuk mencari tempat Camp di jalur pendakian yang miringnya lebih dari 45*. Wahyu sempat melihat Siamang hutan yang katanya sebesar manusia. Menurutku terlalu besar untuk ukuran Siamang. Keterkejutannya membuat ia bersembunyi di balik pohon sampai aku kembali menyusulnya. Kami akhirnya menemukan tempat camping yang sempit diantara pos Pangalap dan Tanjakan Seruni yang pada ketinggian 1800 mdpl.
Saat sibuk memasang tenda dome ada  tiga rombongan pendaki yang turun. Mereka mereka ini dua rombongan dari Bandung dan satu rombongan dari Jakarta. Satu Rombongan dari Bandung (saya lupa menanyakan dari organisasi apa) sempat beramah tamah dengan kami dan memberi oleh-oleh berupa 2 kantong Ceres, 20 kantong Cappucinno dan gula. Kata mereka ini hadiah persahabatan sebagai pendaki. Tapi menurutku mungkin juga kedok mengurangi beban yang berat.
Malam ini setelah makan malam dengan kenyang ditemani Cappucino hangat gratisan kami beranjak untuk tidur. Tapi di  tengah malam saya terbangun dan sepertinya yang lain juga terjaga. Di luar ada suara berisik yang asing dari suara hutan lainnya. Suara burung hantu, anjing hutan, angin berdesir sebenarnya sudah menakutkan di hutan gelap ini. Tapi dengan tambahan suara asing di sekitar tenda membuat ini menjadi lebih seram. Wikan dan Tifani kata mereka mendengar suara monyet dan ayam yang sepertinya mondar-madir di sekitar tenda Hanif dan Jerry tidak peduli dan berusaha tidur, Wahyu sendiri malam mendengar suara paling mengerikan, cekikikan Kuda. Aku lebih memilih untuk tidak peduli juga dan mulai berusaha tidur.
Senin, 13 Juni 2011
            Kami bangun pagi-pagi jam 5 pagi utnuk bikin sarapan bongkar tenda dan siap-siap melanjutkan pendakian. Pendakian dimulai jam 8 pagi dan terus kami lanjutkan sampai pukul 11 siang dan akhirnya sampai di pos Batu Lingga 2200 mdpl.  Setelah berdiskusi sedikit kami memtuskan mendirikan camp kecil disini dan menaruh barang seperlunya. Rencana tak terduga ini ialah kami akan menuju puncak langsung dengan mungurangi beban. Dengan membawa beban seperlunya berupa alat penyelamatan (Rescue), makan siang, air secukupnya dan ponco. Semua setuju dan melanjutkan pejalanan.
Dari Batu Lingga tanaman mulai homogen dan ketinggian tanaman mulai rendah. Sempat beristirahat di pos Sangga Buana 1 dan kami lanjutkan ke pos Sangga Buana 2 dan akhirnya sampai di Pengasianan 2800 (mdpl). Waktu menujukkan pukul 1 siang dan jarak ke puncak tinggal 800 meter lagi. Disini kami beristirahat sejenak dan Jerry memrintahkan mengeluarkan kompor Parafin untuk memasak air untuk Cappucino. Malangnya setelah kami periksa ternyata kami cuma membawa satu botol air yang isinya tinggal setengah. Entah bagaimana kami lupa membawa 2 botol air lagi.
 Jerry marah-marah dalam kondisi ini. Tanpa banyak pikir dia memerintahkan untuk saya dan Hanif untuk turun mengambil air di Camp kecil di Batu Lingga. Enak saja dia perintah-perintah, jarak Pangasinan ke Batu Lingga itu 1,5 km lebih jaraknya dan harus turun naik gunung untuk kembali lagi. Situasi mulai mengarah ke konflik internal dan samapi-sampai Jerry mengancam membatalakan ke Puncak. Kalau saja dia bukan pimpinan pendakian mungkin saja saya akan ladeni kemarahannya dan melanjutkan konflik ini. Terpaksa saya dan Hanif turun ke Batu Lingga sebagai pihak yang dianggap masih punya tenaga. Baru -baru ini saya sadari kenapa saya mau melakukan hal melelahkan itu demi muncak Ciremai. 
Serangan ke puncak akhirnya tertunda sampai jam 3 sore karena mununggu kami berdua mengmbil air. Langit mulai menunjukkan warna jingga. Saya lihat Jerry sudah tidak marah-marah lagi dan sudah bercanda lagi. Kami berdua lebih memlihi tiduran sejenak karena capek. Kemudian kami lanjutkan perjalana ke puncak yang tinggal 0,8 km lagi. Walau dekat rasanya tetap saja sulit karena jalan yang mendaki dan curam. Rasa kesal akibat konflik kecil tadi serasa hilang sudah karena pengin cepat sampai ke puncak. Sempat berpapasan denagn pendaki lain yang kemping di sekitar jalur.
Wahyu yang berjalan paling depan sesekali mengucapkan kalimat bernada “capek, tinggi banget, kapan sampainya?” dan terus berjalan. Seolah-olah kata-kata pesimis tadi adalah kata-kata motivasi penyemangatnya. Yang lain juga tamapk seperti wahyu. Kecuali Jerry yang setiap kali bareng dia naik gunung gayanya serasa biasa saja. Malah sempat bercanda di situasi yang miring ini.
Tinggal beberapa langkah lagi ke puncak wahyu berlari dengan semangat yang padahal awalnya tampak pesimis. Cepat sekali perubahannya seperti seorang penderita manik disorder. “Huhuhu, saya yang pertama muncak Ciremai!’ teriak dia berulang-ulang. Kemudian disusul aku, Wikan, Moni, Jerry dan Hanif. Suasana menjadi suka cita di latar belakangi langit yang senja. Di puncak ini tertera nama Puncak Panglongokan  3027 mdpl. Kawahnya teramat lebar dan katanya harus memakan waktu satu jam untuk mengitarinya.  Terlalu capek dan kami tidak punya waktu. Jadi kami lebih memilih bersenag-senang di satu titik puncak dnegan photo-photo, merekam  video, telepon Palapsier dan teman-teman dan Ngopi Cappucino lagi. Serasa tidak ada masalah sebelumnya.
Ada hal yang paling penting lagi. Tifani atau Moni ternyata pada hari ini 13 Juni 2011 berulang tahun ke 19 tahun. Beruntung sekali dan senag sekali dia karena bisa merayakan ulang tahunnya di Puncak Ciremai. Sedikit pesta kecil dengan minuman puncak, Cappucino, biskuit dan Apel asem yang kubawa dari Jogja. Selagi di Puncak kami sempat menelpon Diyan dan Deddy (2009) yang tidak bisa ikut sampai akhir dalam rangkaian FUD ini. Tapi bagi kami kalian selalu bersama kami dalam pendakian ini. Walalu sekedar berupa barang pinjaman dari kalian.
Jam lima sore kami mulai turun dan baru sampai ke Batu lingga pada jam 8 malam. Satu malam lagi kemping disini sebelum menlanjutkan perjalanan lagi besoknya. Sesampainya di tenda unutng barang-barang kami masih utuh seperti saat kami tinggal waktu ambil air tadi. Malam ini kami makan malam dengan kenntang panggang yang iseng kami buat dan ternyata enak rasanya. Wikan sempat marah-marah karena aku sembarangan menghabiskan bahan masakan untuk di eksperimen dibakar. Untung masih bisa dimakan.
Selasa, 14 Juni 2011
            Hari ini dengan mengulangi ritme kemping dipagi hari kami bikin sarapan, sarapan, dan bongkar tenda. Hari cerah dan sesuai harapan selama pendakian hari tidak hujan. Kami mulai perjalnan turun jam 8 pagi. Perjalanan turun biasanaya selalu lebih cepat dan lebih menyakitkan buaat kaki. Sempat berhenti di tanjakan Kuburan Kuda dan iseng mencari kuburan kuda yang barangkali ada. Di Kondang Amis juga sekalian iseng ke mata air yang ternyata kering di musim kemarau ini. Akhirnya kami sampai di Basecamp pada pukul 4 sore. Di depan basecamp ada kelurga pak Tatang yang lagi santai sore.
Malam ini kami memutuskan untuk menginap semalam lagi disini seblum melanjutkan perjalanan pulang ke Jogja. Dengan makan Nasi Goreng buatan istri Pak Tatang kami bisa istirahat dengan perut kenyang. Rasanya selalu nyaman dan aman kalau sudah berada di pemukiman, walaupun itu rumah orang. Tetapi lebih menyenangkan lagi karena kami berhasil menyelesaikan misi kami kali ini, berkunjung ke Puncak Panglokan Gunung Ciremai.

No comments:

Post a Comment

Entri Populer

Blog Archive